Indonesia Krisis SDM Bidang Kelautan

IMG_0572

Indonesia saat ini menghadapi krisis terkait kesiapan sumber daya manusia di bidang kelautan. Padahal, dengan asumsi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi maritim, Indonesia mutlak membutuhkan SDM kelautan yang andal dan berstandar internasional.

Hal itu saya sampaikan usai bertemu Wakil Menteri Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Olah Raga Republik Kroasia Roko Andricevic dan Duta Besar Republik Kroasia Drazen Margeta di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (18/9) siang. Pertemuan, antara lain mendiskusikan perihal dukungan lembaga pendidikan terhadap penyiapan SDM bidang kelautan. Kroasia adalah salah satu negara di Eropa yang memiliki concern tinggi terhadap isu human capital di bidang kelautan.

Sebagai contoh, Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga kerja di industri pelayaran, karena baru terpenuhi 21 persen atau 1.500 orang dari kebutuhan 7.000 orang per tahun. Selain pemerintah, rentang kebutuhan ini perlu segera diatasi dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan kelautan yang ada.

Selain masalah kerjasama peningkatan bidang Sumber Daya Manusia (SDM), pertemuan tersebut juga membahas soal akreditasi pendidikan maritim, produktivitas pelabuhan, serta bidang pariwisata (domestic cruise). Khususnya masalah kapal wisata dan industrinya.

Pembangunan kemaritiman mensyaratkan dimilikinya SDM yang cakap dan kapabel di semua ranah yang berkaitan dengan kelautan. Ide Jokowi – JK adalah mengembangkan konektivitas ekonomi antarpulau yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Maritim akan dijadikan kekuatan untuk mewujudkan keamanan nasional, serta mewujudkan kemandirian ekonomi dan sumber daya kelautan.

Atas dasar itu, kebutuhan tenaga kerja yang andal dan berstandar internasional akan menjadi tuntutan pasar nasional maupun internasional untuk memenuhi kebutuhan di industri pelayaran yang dipastikan meningkat. Tahap awal, diperlukan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana pendidikan. Fokusnya untuk pemenuhan tenaga kerja nasional dulu, baru internasional.

Sementara itu, dengan asumsi program pemerintahan Jokowi-JK dapat dilaksanakan, ekonomi maritim hanya akan terwujud apabila didukung oleh beberapa faktor. Salah satunya, terkait dengan keberadaan sistem jaringan angkutan laut yang terbangun dengan baik. Pembangunan ekonomi maritim juga meniscayakan dimilikinya pelabuhan-pelabuhan modern, manajemen kepelabuhanan yang bagus, dukungan logistik maritim, industri galangan kapal, dan seterusnya.

IMG_0574

Namun, yang pertama-tama dan terutama, kita sangat membutuhkan lembaga pendidikan yang memiliki kredibilitas dan secara kontinyu menyiapkan SDM kelautan yang cakap dan memenuhi kualifikasi standar internasional. Dialog dengan mitra dari negara-negara yang berpengalaman dalam studi kelautan seperti Kroasia sangat diperlukan, kata Danang, setidaknya untuk berbagi pengalaman di ranah akademik, sekaligus membuka kemungkinan membangun jaringan kerja sama terkait penyiapan SDM kelautan di antara kedua negara.

Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Olah Raga Republik Kroasia Roko Adricevic melihat Indonesia sebagai sebuah negara maritim besar yg memiliki banyak kesamaan dengan Kroasia. “Bedanya, kami justru surplus SDM bidang maritim,” ujar Roko.

Twitter: @d_parikesit

Leave a comment

Filed under infrastruktur, transportasi

Tol Laut dan Angkutan Barang melalui Jalan Raya

Tol Laut dan Perhatian Pemerintah terhadap Angkutan Barang melalui Jalan Raya

Meskipun hari-hari ini pembicaraan mengenai tol laut dan arti penting angkutan laut bagi transportasi dan logistik barang sangat mendominasi media, keluhan Asosiasi Truk Indonesia mengenai perlunya pemerintah tetap memperhatikan angkutan jalan tidak boleh lepas dari perhatian. Sebenarnya selain tol laut, pemindahan angkutan barang ke sistem kereta api juga menjadi pilihan kebijakan yang sangat menarik. Tidak ada yang salah dengan dua kebijakan tersebut (tol laut dan kereta api).

Sesungguhnya kekhawatiran pengusaha truk dalam menanggapi isu tol laut dan pembangunan perkeretaapian nasional terlalu berlebihan. Justru kebijakan itu akan meningkatkan peranan truk dalam mengangkut barang, serta memperbaiki profitabilitas usaha mereka. Kenapa demikian? Mari kita telaah dalam uraian berikut.

Pertama, jaringan jalan terutama di Jawa dan lebih khusus lagi di Pantura telah demikian padatnya. Truk mengangkut barang dari Jakarta menuju Semarang akan memakan waktu 2 hari. Biaya angkut menjadi melonjak yang meskipun sebagian ditransfer ke pemilik barang, juga akan menggerogoti keuntungan pengangkut. Apabila sebagian beban jalan dipindah ke laut dan kereta api, maka perjalanan yang sama akan memakan waktu 1 hari. Utilisasi truk akan meningkat dan mereka bisa memperoleh volume muatan “double” sehingga skala bisnisnya menjadi meningkat.

Pengusaha hanya harus merubah pola pikirnya dan jaringan angkutannya. Pengusaha angkutan truk tidak perlu lagi berkompetisi dengan rute parallel dengan kereta api maupun kapal Ro-Ro, melainkan harus berubah mensuplai barang ke jaringan KA atau angkutan laut. Dari pola “trunk” menjadi pola “feeder”. Dengan demikian, jarak tempuh makin pendek dengan intensitas muatan bisa lebih besar.

Kedua, persoalan besar di industri truk nasional adalah terjadinya fragmentasi usaha angkutan menggunakan truk. Sangat banyak pengusaha yang memiliki 1 atau 2 truk saja. Perkiraannya sekitar 70-80% pengusaha truk memiliki armada kurang dari 10 buah. Dengan demikian, selain ketiadaan skala ekonomi untuk memperoleh profit yang wajar, juga sangat rentan terhadap kompetisi yang keras serta harga BBM non-subsidi. Kita juga melihat bahwa karena informasi tentang muatan tidak dimiliki oleh perusahaan angkutan truk skala kecil, maka fenomena “empty running trucks” cukup mengemuka. Diperkirakan 40% truk yang berada di jalan raya kondisinya kosong tanpa muatan. Mereka mengantar barang dan kembali dalam keadaan kosong. Karena mereka berasumsi bahwa tidak ada muatan maka biaya yang dikenakan pada pemilik barang dua kali atau biaya PP. Pengusaha kecil angkutan truk tidak lagi bisa berkompetisi dengan perusahaan besar yang memiliki sistem IT yang bagus dan petugas pemasaran yang mencari muatan. Kebijakan pengangkutan menggunakan KA atau laut akan memungkinkan mereka bekerjasama dengan perusahaan KA, laut maupun “freight forwarder” sebagai pemasok. Diantara mereka sendiri dapat melakukan “voluntary market consolidation” seperti membentuk koperasi dengan armada sekurangnya 100 truk. Dengan demikian, mereka memiliki daya tawar yang lebih besar dan pengisian muatan yang lebih baik.

Ketiga, harga BBM khususnya Solar saat ini masih subsidi. Ke depan, dengan disetarakannya harga solar transportasi dan solar industri, perusahaan harus berbenah diri menghadapi kebijakan tariff baru. Diperkirakan tariff baru BBM solar akan meningkatkan biaya angkut 40-50% dari kondisi saat ini. Namun demikian, pada saat yang sama, saya menduga pemerintah akan menerbitkan kebijakan fiskal seperti penurunan pajak, insentif bea masuk suku cadang serta penyesuaian besaran uang muka perbankan untuk pembelian dan retrofit truk. Ini jelas akan menyehatkan industri angkutan truk sendiri. Bukan memberikan kemudahan pada sisi hilir tetapi pada sisi hulu yaitu kepemilikan dan pengoperasian. Bukan pada subsidi harga di tingkat pemilik barang.

Usaha angkutan barang akan meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan konsumsi domestik dan pertumbuhan ekspor barang Indonesia ke luar negeri. Tidak perlu khawatir bahwa pangsa usaha akan menyempit. Saya yakin akan semakin besar dan semakin bernilai tambah tinggi. Ini tantangan yang harus dijawab sendiri oleh para pelaku.

Kita hanya perlu merubah cara pandang dan strategi menghadapi lingkungan bisnis yang semakin dinamis.

@d_parikesit

Leave a comment

Filed under infrastruktur, transportasi

Migrasi BBM ke BBG adalah Keharusan

Migrasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi adalah keharusan. BBG akan hasilkan banyak keuntungan, seperti efisiensi biaya, berkurangnya pencemaran udara, hingga terjaganya kekayaan sumber alam minyak. Dampak besarnya, subsidi BBM berkurang sehingga keuangan negara dapat dialihkan untuk pembiayaan lain yang mendesak, seperti pendidikan dan kesehatan.

Apa yang salah dengan BBG?

Tak ada. Ini malah sangat menguntungkan negara. Bahkan jika BBG yang seharga Rp 3.100 per LSP itu digratiskan, maka negara akan menghemat subsidi sebesar Rp 3.000/liter BBM. Lalu, mengapa kebijakan ini belum dilakukan?

Tak perlu risau tentang infrastruktur, sebab kebutuhan ini akan berjalan seiring dengan proses perancangan kebijakan harga BBM dan BBG. Tak benar asumsi tentang sulitnya mencari dana pendukung. Dengan perencanaan kondusif, swasta akan mau berinvestasi.

Kebijakan migrasi ini telah dinanti selama 10 tahun. Kini kita benaruh harapan pada kepemimpinan Jokowi-JK. Saya yakin, keduanya mampu mewujudkan penantian panjang ini. Kita telah membuktikan keberhasilan mengonversi minyak tanah ke gas. Konversi BBM ke BBG untuk transportasi mestinya akan lebih mudah, sebab struktur industri transportasi tidak berfokus pada retail market sebagaimana minyak tanah – gas.

Pemerintah harusnya tak lagi fokus pada agenda membagi-bagi converter kit BBG bagi kendaraan, sebab ini rawan penyelewengan proyek. Jangan ada lagi proyek yang merugikan negara dalam koridor menyejahterakan rakyat. Yang harus digarap adalah perhatian pada edukasi tentang manfaat BBG. Insentif fiskal bagi voluntary migration perlu pula dipertimbangkan.

Satu yang perlu dipatahkan adalah mitos yang beredar di masyarakat, bahwa BBG bukanlah bahan bakar yang aman untuk kendaraan. Sosialisasi berupa kisah sukses dan keuntungan-keuntangan menggunakan BBG harus diperbanyak.

 

@d_parikesit

Leave a comment

Filed under transportasi

Optimalkan BUMN untuk Biayai Pembangunan Infrastruktur

Optimalisasi BUMN harus dikedepankan untuk mengatasi permasalahan sempitnya ruang fiskal guna pembiayaan pembangunan infrastruktur. Termasuk, infrastruktur transportasi publik.

Itulah benang merah yang muncul dalam seminar bulanan gelaran Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), di Yogyakarta, Senin (1/9) siang. Kali ini, seminar bulanan yang digelar bekerja sama dengan Forum Ilmuwan Indonesia dan Seknas Jokowi, mengangkat tema ”Infrastruktur, Transportasi Publik, dan Perumahan Rakyat”. Menurut saya, pemerintah Jokowi – JK akan memiliki dilema terkait pembiayaan infrastruktur, termasuk infrastruktur transportasi publik.

Kebutuhan untuk tumbuh dan mandiri secara ekonomi membutuhkan peningkatan investasi 10-15 persen dari tingkat saat ini. Padahal, RAPBN 2015 sangat terbatas mengakomodasi kebutuhan ini. Ini karena beban subsidi pembangunan BBM dan listrik kita yang besar, sementara postur APBN sendiri tidak memiliki pemihakan terhadap visi misi pembangunan nasional.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintahan Jokowi-JK diharapkan juga mampu mengembalikan ”khittah” BUMN sebagai agen pembangunan infrastruktur strategis. Hitungan saya, BUMN kita masih memiliki kapasitas investasi sebesar Rp 100 triliun.

Angka sebesar itu dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dan perbaikan pelabuhan-pelabuhan besar untuk mendukung konsep tol laut yang digagas oleh Jokowi. Di samping itu, biaya sebesar itu bisa digerakkan untuk membangun jaringan KA antar kota baru, maupun program-program KA perkotaan. Tentu saja, skema penugasan ini memerlukan orientasi baru menilai keberhasilan BUMN infrastruktur, serta tetap memberikan peran pada swasta untuk investasi infrastruktur.

Mengutip studi Bappenas, ICOR Indonesia (Incremental Capital Output Ratio) adalah 5,12. Angka ICOR menunjukkan persentase perubahan belanja modal termasuk infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi. ICOR Indonesia masih lebih tinggi dibanding Rusia, Cina, Brasil dan India – negara-negara yang secara penduduk dan kondisi ekonominya setara. Danang Parikesit menilai, ICOR tinggi ini terjadi karena investasi infrastruktur di Indonesia kurang tepat sasaran. Misalnya, jalan dibangun tidak di tempat yang dibutuhkan, pelabuhan-pelabuhan dibangun tidak ada kapal yang sandar, waduk dibangun dan tidak dimanfaatkan.

Tingginya angka ICOR juga menunjukkan kemungkinan efisiensi, mark-up, maupun korupsi di belanja publik. Dalam seminar, juga berkembang usulan agar transportasi publik untuk di daerah perdesaan dan perdalaman harus muncul secara eksplisit dalam program pembangunan. Pemanfaatan dana desa untuk mendorong pembangunan perdesaan melalui pembiayaan angkutan perdesaan dapat menjadi pilihan kebijakan. Migrasi penduduk kota terdidik dari kota ke desa secara terprogram juga dipercaya bisa menjadi katalis bagi pembangunan perdesaan.

 

DPR

Leave a comment

Filed under infrastruktur, transportasi

Pemenuhan Akses Transportasi bagi Kebutuhan yang Beragam


Latar Belakang

Transportasi merupakan kebutuhan dasar setiap orang, artinya tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama untuk berada dimana saja dengan bergerak (bertransportasi). Seseorang dapat bergerak sendiri dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan tak bermotor, atau bergerak mengemudikan dan menumpang kendaraan bermotor. Khusus untuk seseorang yang melakukan perjalanan dengan mengemudikan kendaraan bermotor ada beberapa syarat cukup/wajib (sufficient condition) yang harus dipenuhi sehingga orang tersebut memenuhi aspek kepatuhan (legal) dan kepatutan (layak) untuk bergerak dengan mengendarai kendaraannya, diluar syarat-syarat lain yang bersifat perlu (necessary condition).

Dua hal yang termasuk syarat cukup/wajib bagi seseorang untuk turun ke jalan adalah 1) kepemilikan SIM sesuai dengan kendaraan yang dikemudikannya (UU 22/2009 pasal 77); dan 2) kelulusan uji tipe bagi setiap kendaraan bermotor dan modifikasi kendaraan bermotor yang dikemudikannya (UU 22/2009 pasal 49). Jadi setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk turun ke jalan dengan mengemudikan kendaraannya jika orang tersebut telah memenuhi syarat wajib yaitu, mempunyai SIM sesuai dengan kendaraannya sebagai wujud pengakuan kompetensi mengemudinya secara legal (aspek kepatuhan) dan layak (aspek kepatutan) oleh negara dan kendaraan yang dikemudikannya juga harus lulus pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan yang dipersyaratkan.

Bagi saudara-saudara kita yang mempunyai keterbatasan fisik, belum optimalnya pelayanan angkutan umum misal angkutan umum yang mampu mengakomodir kebutuhan yang beragam, kepemilikan SIM dapat memberikan perbedaan besar dalam kehidupannya, antara lain: 1) mampu meningkatkan kemandirian dalam kehidupan sosial, 2) mencari pekerjaan dan bekerja; dan 3) mendapatkan kebebasan untuk pergi dimanapun dan kapanpun.

Kemajuan teknologi kendaraan telah banyak membantu pengemudi/pengendara dengan keterbatasan fisik ini, mulai dari menghasilkan kendaraan yang mudah digunakan oleh pengemudi dengan keterbatasan sampai dengan melakukan modifikasi khusus (termasuk untuk menurunkan batas kecepatan) sehingga pengguna dengan keterbatasan mampu menggunakannya dengan mudah.

Tentunya modifikasi ini juga harus memenuhi prinsip-prinsip passive safety (melindungi pengguna) dan memastikan kendaraan modifikasi tidak berbahaya bagi pengguna jalan yang lain. Selain itu, satu hal yang seringkali dilupakan adalah pemenuhan kebutuhan ruang parkir untuk kendaraan modifikasi sebagai salah satu wujud nyata dari kesamaan hak yang diterima oleh semua orang untuk bertransportasi.

Pada kesempatan ini, sebagai sebuah langkah awal untuk mewujudkan transportasi yang mampu mengakomodir kebutuhan yang beragam maka kami berencana untuk membuat suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan membuka akses yang sebesar-besarnya bagi saudara-saudara kita dengan keterbatasan untuk bisa mendapatkan haknya secara legal dan layak (SIM dan modifikasi kendaraan) di jalan.

Tujuan kegiatan

  1. Advokasi regulasi guna mewujudkan memberikan kesetaraan pengguna jalan dengan keterbatasan;
  2. Advokasi pemenuhan standar sertifikasi modifikasi kendaraan bagi pengguna dengan keterbatasan
  3. Advokasi peningkatan pengetahuan berlalulintas dan ketrampilan mengemudi/mengendarai kendaraan bagi pengguna dengan keterbatasan.


Bentuk kegiatan

  1. Pendampingan, pembelajaran, pengetahuan berlalu-lintas, dan pelatihan ketrampilan mengemudi bagi pengguna dengan keterbatasan oleh pihak yang berwenang (profesional);
  2. Seminar dan atau FGD tentang regulasi, standarisasi dan kompetensi bertransportasi bagi pengguna dengan keterbatasan;
  3. Penyelenggaraan ujian SIM (teori dan praktek) –kolektif- bekerjasama dengan pihak yang berwenang bagi pengguna dengan keterbatasan;
  4. Penyelenggaraan test drive kendaraan modifikasi bagi pengguna dengan keterbatasan;
  5. Malam penggalangan dana


Hasil yang diharapkan

  1. Meningkatnya pemahaman dan kesadaran difabel tentang peraturan berlalu lintas.
  2. Pemenuhan aspek kepatuhan (legal) dan kepatuhan (layak) bagi pengguna dengan keterbatasan (difabel) untuk bisa mendapatkan SIM sesuai dengan aturan yang berlaku.
  3. Draft usulan terkait dengan perlunya perbaikan regulasi, standarisasi kendaraan (sertifikasi) dan kompetensi mengemudi pengguna dengan keterbatasan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan yang beragam.


Peserta

Terbuka untuk umum, khususnya calon pengemudi kendaraan dengan keterbatasan (difable).


Penyelengara Kegiatan

Kegiatan ini diselanggarakan atas kerjasama beberapa instansi pemerintah dan lembaga masyarakat:

  1. Dirlantas Polda DI Yogyakarta, dan Jajarannya
  2. Dinas Perhubungan dan Komunikasi Provinsi DI Yogyakarta (dalam konfirmasi)
  3. Bappeda Provinsi DI Yogyakarta (dalam konformasi)
  4. Polres Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Yogyakarta
  5. Difable Motorcyclist Community (DMC)
  6. UCP (United Cerebral Palsy)
  7. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM
  8. Komunitas Masyarakat Sadar Keselamatan (KMSK) Provinsi DI Yogyakarta


Waktu dan tempat pelaksanaan

  1. Pendampingan, pembelajaran, pengetahuan berlalu-lintas, dan pelatihan ketrampilan mengemudi bagi pengguna dengan keterbatasan oleh pihak yang berwenang (profesional): 22-23 Agustus 2014 pukul 09.00 – 16.00 WIB, bertempat di Grha Sabha Pramana UGM
  2. Seminar: Pemenuhan Akses Transportasi Bagi Kebutuhan Yang Beragam. September 2014, pukul 08.00 – 12.00 WIB, di Balaikota Yogyakarta
  3. Penyelenggaraan ujian SIM (teori dan praktek)–kolektif- bekerjasama dengan pihak yang berwenang bagi pengguna dengan keterbatasan; September-Oktober 2014 pukul 08.00 – 16.00 WIB, bertempat di Polres Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Yogyakarta
  4. Penyelenggaraan test drive kendaraan modifikasi bagi pengguna dengan keterbatasan; 22-23 Agustus 2014 pukul 09.00 – 16.00 WIB, di Sabha Pramana UGM.
  5. Cek kesehatan bagi peserta ujian SIM pengguna dengan keterbatasan; Pada 22 Agustus 2014 pukul 09.00 – 16.00 WIB di Grha Sabha Pramana UGM

 Sumber: PUSTRAL UGM

Leave a comment

Filed under disabilities, infrastruktur, transportasi

Pengurangan Subsidi BBM Bukan Tanpa Syarat

Harga BBM jenis solar (diesel fuel) per 1 Agustus 2014 telah diputuskan untuk naik secara regional bertahap dan dimulai di wilayah Jakarta Pusat. Harga Bio Solar yang sebelumnya Rp. 5.500 berubah menjadi Rp. 12.800. Sebuah kenaikan luar biasa ditengah “injury time” pergantian kepemimpinan nasional. Kebijakan lain yang dijalankan adalah penjualan BBM jenis premium non subsidi di SPBU yang terletak di jalan bebas hambatan.

Reaksi masyarakat sangatlah beragam, dan ini pastilah sudah diantisipasi oleh pemerintah. Reaksi yang paling nampak di Jakarta adalah berpindahnya pola pengisian BBM solar dari Jakarta Pusat ke tempat-tempat lain dan antrean panjang di SPBU yang menjual BBM bersubsidi. Dalam jangka pendek, pasti akan terjadi penambahan konsumsi BBM solar bersubsidi karena perjalanan yang semakin panjang dan waktu tunggu di SPBU yang semakin meningkat. Seperti telah dibuktikan melalui berbagai kajian ilmiah, mesin kendaraan yang “idle” membutuhkan BBM lebih banyak dibandingkan kendaraan yang berjalan.

Saya ingin menyoroti beberapa hal yang perlu menjadi bahan diskusi publik.

Pertama, alasan perubahan harga BBM dan kebijakan harga BBM ini sangat dipengaruhi oleh kondisi keuangan negara yang semakin tertekan akibat meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi. Dalam berbagai rilis media, Menko Perekonomian menyebutkan besarnya anggaran yang perlu dialokasikan untuk “menambal” APBN yang tertatih-tatih akibat subsidi BBM. Namun demikian, tidak pernah kita mendengar pernyataan pemerintah yang mengurai alasan mengapa subsidi ini meningkat. Subsidi BBM meningkat karena konsumsi meningkat. Konsumsi BBM meningkat karena tingkat perjalanan dengan kendaraan bermotor yang lebih besar, serta perjalanan yang semakin jauh dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor.

Sayangnya pemerintah merespon hal ini semata-mata dengan cara yang paling mudah yaitu menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi. Tidak ada kebijakan pengurangan subsidi melalui pengurangan tingkat penggunaan kendaraan bermotor. Tidak ada program yang jelas untuk mengurangi jarak perjalanan kendaraan melalui sistem logistik yang lebih efisien dan transportasi multi-moda.

Pemerintah juga mengharapkan bahwa terdapat perubahan perilaku masyarakat mengurangi perjalanan, padahal dalam ketiadaan alternatif angkutan, permintaan untuk BBM sifatnya akan inelastik. Dengan demikian, kebijakan ini hanya menggeser beban pemerintah menjadi beban masyarakat, bukan meningkatkan efisiensi sistem perekonomian.

Kedua adalah pemanfaatan ruang fiskal baru akibat pengurangan subsidi BBM. Saya dan teman-teman saya dari Masyarakat Transportasi Indonesia termasuk yang cukup kecewa saat pemerintah menaikkan harga BBM bulan Juni 2013 yang lalu karena tidak tuntasnya kebijakan yang diterapkan. Harapan besar pengguna angkutan umum untuk memperoleh layanan yang berkualitas dengan infrastruktur angkutan umum yang baik tidak terpenuhi karena alokasi anggaran tambahan untuk program subsidi angkutan umum serta program investasi untuk jaringan KA, perbaikan halte dan stasiun, serta insentif investasi armada angkutan yang modern tidak terjadi. Saya masih menyimpan pertanyaan besar mengapa hal tersebut tidak terwujud. Apakah memang pemerintah tidak mengusulkan program tersebut ataukah program tersebut tidak disusun dengan konsep yang kuat? Atau semata-mata pemerintah hanya memiliki komitmen setengah hati dalam mendorong angkutan umum?

Mobilitas barang dan orang tidak bisa dihambat karena akan mengurangi kesempatan usaha dan interaksi sosial yang kita butuhkan dalam pembangunan nasional. Penggunaan BBM berkaitan langsung dengan mobilitas kendaraan, khususnya kendaraan pribadi. Hasil kajian yang dilakukan untuk membandingkan penjualan kendaraan dan perubahan harga BBM di Indonesia sejak tahun 1980 memperlihatkan bahwa permintaan penjualan kendaraan sifatnya juga inelastik terhadap perubahan harga. Umumnya terjadi penundaan 6-12 bulan, tetapi kemudian akan terjadi akumulasi pembelian kendaraan kembali. Tanpa memberikan pilihan mobilitas maka masyarakat akan terperangkap dalam ketiadaan alternatif atau “unimode-trap”. Dalam tahap yang akut, “unimode-trap” ini sangat sulit dilepaskan apabila penggunaan angkutan pribadi sudah lebih dari 60%. Tanpa ada upaya untuk mereformasi secara progresif program angkutan umum, baik pada tingkat nasional maupun lokal, rasanya sulit untuk mengharapkan upaya yang lebih fundamental selain menaikkan harga BBM.

Menurut saya, harus ada pesan kebijakan publik yang jelas dari pemerintah bahwa kebijakan energi sangatlah berkaitan dengan kebijakan transportasi publik. Dua kebijakan tersebut haruslah dikemas dalam satu paket kebijakan efisiensi dan peningkatan produktifitas ekonomi. Akan lebih baik lagi apabila kedua kebijakan tersebut menjadi instrumen uji bagi kebijakan pemerintah lain seperti kebijakan industri kendaraan berbiaya murah dan hemat BBM. Namun kita tidak akan membahasnya dalam artikel ini.

Ketiga, sebuah kebijakan yang memuat diferensiasi harga untuk komoditi yang sama tentu akan memicu reaksi di tingkat pengguna, baik yang bersifat legal maupun yang bersifat ilegal. Apa yang terjadi secara natural saat kenaikan harga BBM jenis solar/minyak diesel dengan perpindahan pola tempat SPBU dan peningkatan konsumsi BBM bersubsidi seharusnya menjadi pelajaran penting bagaimana respon pasar terhadap diferensiasi seperti ini.

Masyarakat kita pada umumnya adalah “price seeker”, sehingga selisih harga akan memicu perpindahan lokasi konsumsi BBM. Penjualan BBM non subsidi di lokasi istirahat jalan tol akan memicu perdagangan ilegal dari BBM subsidi. Ini sama kasusnya dengan kasus penyelundupan BBM karena adanya perbedaan harga dalam dan luar negeri. Saya mengharapkan bahwa biaya penegakan hukum untuk kebijakan transisi ini benar-benar diperhitungkan. Kredibilitas pemerintah harus diletakkan pada kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan secara konsisten dan bebas kepentingan pribadi. Pemasangan RFID pada kebijakan BBM sebelumnya tentunya harus dievaluasi, dan tidak boleh menjadi proyek pengadaan alat di kendaraan semata.

Tiga hal di atas perlulah kiranya dijelaskan secara gamblang oleh pemerintah kepada masyarakat. Jangan sampai transisi kebijakan yang memiliki konsep baik ini menjadi kehilangan kepercayaan masyarakat hanya karena kita tidak memikirkannya secara holistik dan terintegrasi.

*

Danang Parikesit adalah Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia dan Gurubesar Transportasi UGM

Leave a comment

Filed under transportasi

SIM untuk Anak-anak? Belajar dari Kasus Kecelakaan Anak Ahmad Dhani

Kecelakaan kendaraan bermotor yang melibatkan anak selebriti yang mengemudikan mobil dan belum memiliki SIM (Minggu, 8 September 2013) merupakan salah satu puncak dari ironi keselamatan lalulintas di Indonesia. Sebelumnya kita mengetahui pula pengemudi metromini yang menabrak pengguna jalan. Selain itu, kasus rem yang gagal-fungsi (baca: rem blong) bis Giri Indah juga menjadi catatan penting bagi sistem tata kelola uji laik jalan dan kompetensi pengemudi angkutan umum.

Kita kembali menengok kasus kecelakaan di Jagorawi yang melibatkan anak usia 13 tahun yang mengemudikan mobil dan menjadi penyebab hilangnya nyawa orang lain. Enam orang meninggal, dan sepuluh orang luka berat dan ringan. Lepas dari aturan mengenai batas usia minimum mengemudi kendaraan (“driving age limit”), saya akan memulainya dengan mencari referensi internasional dan membahasnya dari sisi tersebut.

Secara internasional, batas usia untuk bisa mengemudi sangatlah bervariasi. Di USA beberapa Negara bagian menerapkan usia 14 tahun, sementara sebagian besar Negara-negara di dunia menggunakan usia 17-18 tahun. Apa makna batas usia tersebut? Apakah semua anak dan remaja yang telah masuk dalam batas usia tersebut berhak dinyatakan mampu atau cakap (“able”) mengemudi kendaraan? Pemahaman ini penting sebelum masuk pada aturan mengenai syarat usia perolehan SIM. Kita menyadari betul bahwa di Indonesia, hampir semua orang yang telah masuk usia SIM berusaha memperoleh ijin mengemudi. Faktanya juga adalah bahwa mereka yang mengajukan permohonan perolehan SIM, sebagian besar atau kalau tidak seluruhnya mendapatkan SIM.

Sebagian diantara kita, baik remaja pra-usia SIM dan orang tua, memberikan pembenaran untuk memperoleh SIM sebelum waktunya. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada alternatif angkutan umum yang tersedia bagi mereka. Ada pula yang menyampaikan bahwa tidak mungkin orang tua mengantar karena kesibukan mereka sehari-hari. Disamping itu, ada pula yang merasa malu karena harus kemana-mana diantar orang tua mereka. Tekanan “peer group” juga membuat remaja seringkali mendesak orang tua mereka untuk melanggar batas usia perolehan SIM, memalsu KTP dan kartu keluarga, dan bahkan meminta pada petugas kepolisian untuk memperoleh SIM tanpa melakukan ujian teori dan praktek.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini, proses perolehan SIM telah membaik dari sisi administrasi, substansi perolehan SIM sebagai proses mengenali “kecakapan” mengemudi masih belum memenuhi harapan. Masih saja terdapat kasus perolehan SIM kolektif, umumnya melalui sekolah. Ada pula yang masih diijinkan memperoleh SIM tanpa ujian praktek. UU 22/2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan membuka peluang perolehan SIM dengan ujian ketrampilan dengan menggunakan simulator. Saya sendiri kurang sependapat bahwa teknologi simulator saat ini bisa menggantikan kecakapan lapangan.

Jerman adalah Negara yang paling keras menerapkan aturan kecakapan mengemudi. Cukup banyak dari mereka yang memohon ijin perolehan “driving license” atau “Fuehrerschein” hingga meninggal, tidak berhak mengemudi karena memiliki resiko membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Disamping biayanya juga tidak murah hingga mencapai 1.000 – 2.000 Euro termasuk biaya wajib belajar mengemudi (“Sonderfahrt”), jarang sekali yang ujian langsung lulus, dan itu berarti harus membayar kembali biaya perolehan SIM. Jelaslah, pemerintah Jerman memandang bahwa keselamatan lalulintas adalah masalah yang sangat serius dan menjadi perhatian semua pihak. Sementara Negara-negara lain menangani masalah SIM ini secara sungguh-sungguh sebagai upaya disisi hulu (“upstream”) pencegahan terjadinya kecelakaan lalulintas, perolehan SIM di Indonesia dilakukan dalam prinsip “pro-forma” dan merupakan proses administrasi, bukan substansi.

Kembali ke kasus kita. Jelaslah bahwa soal kematangan dan kecakapan mengemudi memiliki argumentasi yang cukup mendasar bagi upaya keselamatan diri dan orang lain di jalan. Usia 17 tahun sebagai usia minimum seseorang berhak diuji kecakapan perolehan SIM merupakan hasil kajian mendalam banyak ahli keselamatan dunia. Bahkan pakar keselamatan dari WHO telah mengusulkan ke pemerintah Indonesia untuk menaikkan batas usia hingga 18 tahun, dan pengetatan proses pemberian SIM. Hal ini semata untuk menekan jumlah korban meninggal dibawah angka 30.000 orang setiap tahunnya. Saya mengharapkan pihak Kepolisian memperlakukan kasus ini secara imparsial dan mengedepankan aspek jera bagi masyarakat pengguna kendaraan yang tidak mengikuti aturan yang berlaku, belum memenuhi persyaratan usia, dan belum mengikuti ketuntasan uji kecakapan mengemudi. Apakah orang tua terlibat atau harus bertanggung jawab dalam kasus ini? Barangkali pertanyaan ini harus dijawab dengan menggunakan instrumen hukum lain diantaranya UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sistem ini memungkinan diaplikasikannya konsep “restorative justice”.

Transportasi yang bermartabat diperoleh melalui penghargaan kita sendiri atas nyawa manusia. Pengemudi, pengguna jalan dan semua yang melakuan aktifitas perjalanan harus menghormati aturan yang telah dengan kerja keras bersama kita sepakati.

Dimuat di Blog Tempo Interaktif, 9 September 2013

Leave a comment

Filed under transportasi

Menyoal Kontroversi Biaya MRT Jakarta

Kontoversi biaya MRT Jakarta dalam beberapa minggu terakhir ini seolah mendominasi berita tentang Jakarta di berbagai media nasional. Baik media cetak maupun online mengutip hasil kajian MTI mengenai biaya MRT per kilometer yang dipandang lebih mahal dibandingkan dengan biaya MRT sejenis di Asia dan Amerika Latin. Persoalan menjadi muncul pada saat ada keraguan dari berbagai pihak mengenai kredibilitas data tersebut dengan pertanyaan mengenai perbedaan data dasar, nilai biaya, karakteristik wilayah dan kondisi geografis, panjang jaringan, serta persentase bagian trase yang dibawah tanah atau underground.
Bagi MTI, kekhawatiran terbesar diskusi masalah harga ini adalah bahwa justru pembahasan akan terjebak pada mencari konsensus harga satuan yang tepat untuk MRT Jakarta. Pembahasan seharusnya diarahkan pada esensi tatakelola implementasi yang justru penting untuk mensukseskan proyek ini dan melindunginya dari “moral hazard”.
Namun demikian, untuk menjawab keinginan banyak pihak, baiklah saya akan mencoba menjelaskannya secara sederhana sehingga bisa dipahami lebih kontekstual. Saya sendiri telah menulis opini mengenai isu tata kelola, komunikasi publik, dan upaya meningkatkan kemanfaatan MRT dalam artikel di Majalah Tempo.
Data dasar yang saya gunakan berdasar pada kajian akademik yang dilakukan oleh Flyvberg dkk yang dipublikasikan di tahun 2008 yang berjudul “Comparison of Capital Costs per Route-Kilometre in Urban Rail”. Dokumen tersebut bisa diunduh secara bebas melalui internet. Data dari berbagai kota dan Negara tersebut telah diubah dengan tahun dasar yang sama, yaitu 2002. Selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan standar biaya di Amerika Serikat untuk menghindarkan perbedaan harga, misalnya tenaga kerja. Pada dasarnya teknologi MRT adalah teknologi internasional, sehingga faktor yang menentukan perbedaan adalah biaya tenaga kerja, dan biaya bahan konstruksi pekerjaan sipil. Dengan menyusun perbandingan antara biaya per kilometer dan persentase bagian trase yang di bawah tanah (underground), maka kita memperoleh grafik hubungan antara biaya per kilometer dan persen bagian “underground”.
Berikutnya adalah bagaimana kita memperlakukan biaya MRT Jakarta. Dari jarak 15,2 km yang direncanakan, pagu pinjaman yang dimiliki Indonesia terlebih dahulu dikurangi dengan asumsi 20% untuk keperluan manajemen dan bantuan teknis yang mungkin diperlukan untuk perencanaan dan perancangan. Tentu saja kalau asumsinya data tersebut untuk nilai tahun 2012, maka akan ada pertanyaan mengenai ekskalasi dan inflasi. Bagi yang memahami ilmu ekonomi internasional, pertanyaan mengenai inflasi – dengan menggunakan asumsi inflasi Jepang, maka hal tersebut tidak perlu dijelaskan karena inflasi Jepang selama 10 tahun terakhir berkisar antara 0 hingga -1%. Namun untuk memuaskan rasa keingintahuan saya, maka saya menggunakan penyesuaian inflasi Jepang, inflasi US, dan kombinasi antara inflasi Indonesia dan Jepang. Penyesuaian yang terakhir saya gunakan untuk memperkirakan bahwa terdapat syarat pinjaman yang mengharuskan komponen Jepang sekurang-kurangnya sebesar 70% yang disesuaikan dengan inflasi Negara tersebut, sedangkan komponen lain sebesar 30% disesuaikan dengan inflasi Indonesia.

cost-comparison-mrt-31-10-2012

Tidak mengejutkan sebenarnya bahwa kita memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak komponen yang berada di bawah tanah, maka biaya akan semakin meningkat. Kedua, biaya MRT di Amerika Serikat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Negara-negara Asia dan Amerika Latin. Ketiga, “adjusted US cost” dari MRT di Asia dan Amerika Latin lebih besar dari biaya aktual dengan mata uang setempat. Keempat, terdapat kecenderungan yang cukup jelas bahwa perhitungan biaya MRT Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kecenderungan biaya MRT sejenis yang memiliki persentase bagian yang berada di bawah tanah.
MTI tidak pernah mengatakan bahwa perhitungan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada saat negosiasi pinjaman luar negeri keliru. Biaya MRT sesungguhnya akan muncul pada saat tender dengan mengasumsikan bahwa “market” atau pasar pembangunan MRT bersifat sempurna dan kompetitif. Tentu saja harapan pemerintah Indonesia sebagai peminjam, “market price” yang ditawarkan pemenang akan lebih rendah dari biaya perhitungan awal saat proses pinjaman dilakukan. Namun demikian, asumsi “perfect market mechanism” untuk kontrak MRT memang bisa di”challenge” mengingat tidak banyak kontraktor yang pernah menangani MRT, dan apabila dibatasi pada kontraktor Jepang yang bisa menawar, jumlah ini akan lebih kecil lagi.
Oleh karena itu, MTI mengusulkan adanya sebuah panel ahli MRT dari berbagai Negara non-Jepang untuk melakukan penilaian independen terhadap biaya ini. Mengapa non-Jepang? Hal ini untuk menjaga kredibilitas kerja panel ahli tersebut. Panel ini akan memberikan rekomendasi pada Pemerintah DKI Jakarta mengenai harga yang pantas bagi sebuah MRT di Jakarta. Panel ahli juga akan memberikan kenyamanan bagi PT MRT Jakarta untuk melakukan negosiasi harga dengan calon pemenang. Apabila Pemerintah Jepang tidak memperbolehkan pinjaman yang ada digunakan untuk membiayai tenaga ahli non-Jepang, maka Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa saja membiayai ini dengan APBN atau APBD. Mereka bisa diberi waktu tiga bulan untuk melakukan telaah mengenai harga MRT Jakarta dan berbagai pihak harus menghormati rekomendasi yang diberikan.
Kalau kita bisa memutar jarum jam ke masa lalu, seharusnya proses ini menjadi bagian penting dari diskursus publik mengenai MRT Jakarta. Pilihan-pilihan teknologi “elevated” atau “underground” yang dipersoalkan sebagian kelompok masyarakat akan terjawab dengan mudah. Kebijakan publik bagi proyek yang sedemikian besar harus disusun secara baik dengan mengedukasi masyarakat. Masyarakat perkotaan khususnya DKI Jakarta sangatlah terdidik dan haruslah menjadi bagian dari pengambilan keputusan untuk masa depan mereka.
Sistem MRT menurut pendapat saya memiliki kelebihan dibandingkan sistem bis dalam mengembangkan struktur kota Jakarta, dan perlu diselenggarakan dengan fondasi kebijakan yang kuat. Kebijakan yang kuat tentu dilandasi dengan argumen teknis yang kuat pula dan disertai proses komunikasi luas ke pemangku kepentingan. Diskusi mengenai MRT pasti tidak akan berhenti disini. Pasti ada data lain yang bisa dikemukan untuk men”challenge” data yang dikemukakan di atas. Saya kira sangat baik kita berdiskusi mengenai hal itu. Data harus digunakan sebagai media untuk mulai membahas mengenai kebijakan yang baik, bukan sebagai akhir dari sebuah diskusi.

Tulisan ini telah dimuat di Blog Tempo Interaktif pada 1 November 2012

Leave a comment

Filed under infrastruktur

Apa Kabar Jembatan Selat Sunda?

Pada tanggal 9 Mei 2012, untuk pertama kalinya tiga perguruan tinggi besar Indonesia yaitu UI, UGM dan ITB secara bersama-sama melakukan seminar mengenai jembatan Selat Sunda dari berbagai perspektifnya. Meskipun sebagian besar makalah yang disampaikan adalah berasal dari para peneliti UI, namun kehadiran UGM dan ITB dalam acara tersebut memberi warna lain bagi rekomendasi hasil seminar. Jembatan Selat Sunda atau JSS telah menjadi komitmen pemerintah yang dinyatakan dalam dokumen MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia), serta Peraturan Presiden No 86/2011 yang diantara menetapkan konsorsium Banten Lampung sebagai pemrakarsa proyek pembangunan JSS dan kawasan yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk melakukan “self assessment” terhadap legitimasi keputusan tersebut. Legitimasi paling layak, tentulah dari para akademisi dan pakar perguruan tinggi besar Indonesia.
JSS diperkirakan memiliki panjang sekitar 27-30 KM dan saat ini estimasi biaya yang dibutuhkan untuk membangunnya masih berkisar antara Rp. 150 – 200 Trilyun. Besarnya ketidakpastian biaya ini juga memperlihatkan besarnya elemen resiko proyek yang harus diperhatikan mulai dari resiko stuktur dan pilihan teknologi jembatan, bencana alam, serta resiko konflik sosial yang menyertainya. Sejak inisiasinya pada tahun 1960-an, JSS telah menjadi wacana yang menarik, baik di ranah akademik, publik maupun politik.
Saya ingin memulai ulasan ini dengan menyajikan hasil survei persepsi publik (rapid survey) mengenai JSS ini. Saya melakukan jajak pendapat pada 103 responden kelompok masyarakat terdidik, urban dan berpendapatan menengah ke atas. Saya bertanya apakah mereka percaya bahwa JSS akan memberikan dorongan kuat terhadap pembangunan di Banten dan Lampung.

survei-04-jss-09-05-20121-300x185
Dari seluruh responden yang berpartisipasi dalam jajak pendapat ini 81,55% responden menyatakan percaya bahwa proyek ini akan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat Banten dan Lampung. Bahkan beberapa diantara yang menjawab menyatakan bahwa tidak hanya Banten dan Lampung yang akan menerima manfaat, melainkan seluruh wilayah Sumatera dan Jawa. Oleh karena itu, tidak menjadi keraguan bahwa infrastruktur penghubung Selat Sunda dan penyatu Pulau Sumatera dan Jawa merupakan pilihan kebijakan yang dipandang tepat oleh mayoritas responden. Namun demikian, saya ingin mendalami lebih jauh pendapat mereka yang menolak sehingga kita bisa belajar dari pandangan mereka.
Sejumlah 18,45% yang menolak terutama berasal dari kelompok non pemerintah serta mereka yang berasal dari Jawa Timur. Fenomena ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Kelompok non pemerintah belum bisa diyakinkan bahwa pemerintah benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi proyek mega-infrastruktur seperti JSS. Belum adanya gambaran kebijakan untuk menghindari marjinalisasi dan pemiskinan akibat ketiadaan “inclusiveness” dari proses pembangunan skala besar selalu jadi kekhawatiran. Masalah konflik sosial Mesuji Lampung menjadi indikasi awal bahwa proses sosial pembangunan JSS tidak akan melalui jalan yang mudah meskipun proyek ini mungkin baru akan selesai tahun 2021. Perubahan kepemilikan dan penggunaan lahan telah mulai terjadi sehingga masyarakat lokal semakin kehilangan akses ke kue pembangunan. Proses komunikasi sosial dengan berbagai kelompok masyarakat yang rentan marjinalisasi belum terbangun, dan bahkan pemerintah belum memiliki strategi yang jelas bagaimana menanganinya. Ketidakpercayaan terhadap swasta penerima konsesi juga tinggi mengingat estimasi awal pendapatan toll diperkirakan hanya akan menutup 17% dari biaya pembangunan. Konsesi tambahan yang diperlukan tentu saja akan demikian luas, dan tentu akan menjadi subyek bagi “moral hazard” dalam proses transaksinya.
Mereka yang menolak banyak yang berasal dari Jawa Timur. Bagi saya ini fenomena penting karena jembatan bentang panjang yang menjadi rujukan nasional saat ini adalah Jembatan Suramadu. Masyarakat Jawa Timur, khususnya Surabaya telah menjadi saksi mata penting mengenai transformasi yang terjadi akibat adanya jembatan antar pulau tersebut. Jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura dipandang sebagai capaian unggul karya teknologi jembatan yang mampu ditangani sebagian oleh para ahli dari Indonesia. Sayangnya, “technological marvel” yang ditunjukkan oleh Jembatan Suramadu, ternyata tidak diikuti dengan kemajuan ekonomi kawasan Madura seperti yang dicita-citakan penggagasnya. Tidak saja secara finansial, pendapatan operasi jembatan tol belum mampu membiayai “cost of capital” kewajiban pinjaman luar negeri Cina, namun juga gagasan untuk menjadikan jembatan Suramadu sebagai “big push”, juga tidak berjalan baik. Kemajuan proyek-proyek pengembangan wilayah di berbagai Kabupaten di Pulau Madura belum terlihat. Perpres 27/2008 dan Perpres 23/2009 yang mengamanatkan berbagai mandat pembangunan diantaranya 1.200 Ha kawasan kaki jembatan dan 600 Ha kawasan khusus, setelah 9 tahun mulai konstruksi jembatan dan 3 tahun operasi jembatan belum menunjukkan tanda-tanda dimulainya proyek pembangunan wilayah. Keputusan investasi pelabuhan di Madura juga belum menjadi kesepahaman Ditjen Perhubungan Laut dan Pelindo. Masalah pembiayaan pembangunan, kerjasama dengan pemerintah daerah, dan ketersediaan SDM trampil merupakan isu yang seharusnya ditangani sebelum proyek jembatan dilaksanakan, bukan setelah jembatan dibangun. Ketidak-siapan kebijakan, kelembagaan, pembiayaan, dan SDM ini yang menjadi kegalauan dan kegamangan masyarakat Jawa Timur akan suksesnya JSS.
Pelajaran penting yang kita dapat dari survei singkat ini bukan dari mereka yang setuju, melainkan dari responden yang tidak percaya bahwa JSS akan memajukan Banten dan Lampung. Pemerintah dipandang kurang mengambil posisi di depan dan menyatakan bahwa ini bukanlah proyek jembatan, melainkan proyek pengembangan wilayah. Ada banyak resiko proyek yang harus ditanggung pemerintah seperti komitmen investasi pelengkap, baik untuk infrastruktur, SDM maupun biaya koordinasi yang seringkali mahal harganya. Kesan bahwa proyek ini adalah “investor-driven” dan “donor-driven” tidak terhindarkan dengan banyaknya pemberitaan publik mengenai dukungan pemerintah, perbankan dan industri konstruksi Cina dalam proyek ini. Bagi saya, kondisi tersebut tidak membawa masalah sejauh pemerintah memiliki posisi tawar yang jelas, baik secara alih teknologi, kandungan lokal dan keputusan wilayah dan konsesi yang adil. Kajian saya dengan PUSTRAL UGM (2003 – 2005) memperlihatkan bahwa konsesi “bundled-investment” yang menggabungkan proyek infrastruktur dan pengembangan wilayah memiliki lingkup efisiensi sehingga menjadi pilihan kebijakan pembangunan KPS ke depan. Ini adalah soal kerelaan Negara memberikan kewenangan pengelolaan pembangunan kawasan dari pemerintah pada perusahaan.

Pembangunan JSS ini tampaknya masih menjadi bahasan kebijakan bagi kelompok elit pemerintahan dan politik, dan belum dibuka secara luas ke masyarakat, khususnya masyarakat adat dan pemerintah daerah. Diskursus publik mengenai JSS haruslah dibuka, tidak saja pada perpektif teknologi jembatan dan resiko-resiko teknisnya, melainkan perspektif tata kelola dan konsep pembangunan yang akan didorong melalui proyek ini. Saya yakin pemrakarsa juga sama risaunya dengan masyarakat kampus. Ketidakpastian “roadmap JSS” dan mitigasi resiko sosial dan kelembagaan yang muncul dari pemerintah harus dijawab sehingga “technological marvel” tersebut tidak berubah menjadi “technological disaster”.

 

Tulisan ini dimuat di Blog Tempo Interaktif pada 15 Mei 2012.

Leave a comment

Filed under infrastruktur

Fenomena Antri BBM dan Kekhawatiran Perlambatan Ekonomi Nasional

harga-bbm-dan-pembelian-sepeda-motor1

Ditengah-tengah hiruk-pikuk politik, kasus hukum dan demo pekerja Indonesia, beberapa hari terakhir ini muncul fenomena antrian BBM di berbagai wilayah tanah air khususnya di luar Jawa. Para Kepala Daerah khususnya yang berafiliasi dengan partai non pemerintah menyuarakan kegalauan mereka mengenai kuota BBM yang tidak sejalan dengan kebutuhan pergerakan masyarakat dan kendaraan. Beberapa politisi juga mengancam akan memboikot pengiriman batubara dari Kalimantan meskipun agak sulit dipahami bagaimana boikot tersebut dapat dilaksanakan dengan sistem perdagangan komoditi yang berlaku saat ini. Gubernur Kalimantan Tengah mengatakan bahwa pertumbuhan penjualan sepeda motor di wilayahnya sebesar 15,5% per tahun sangat sulit direspon dengan pengurangan pagu dari 261.895 kL di tahun 2011 menjadi 263.784 kL di tahun 2012.
Pada dasarnya, mobilitas merupakan refleksi dari kesempatan bagi pelaku perjalanan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat bergerak karena ada kesempatan yang ingin dicapai. Semakin banyak dan semakin jauh masyarakat bergerak, maka akan lebih tinggi kesempatan tersebut diperoleh. Kesempatan yang diperoleh kemudian diterjemahkan menjadi peluang peningkatan pendapatan, dan selanjutnya apabila keadaan ini terjadi pada masyarakat, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi mobilitas masyarakat, semakin tinggi pula pertumbuhan ekonominya. Sebaliknya apabila mobilitas dihambat maka akan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Argumentasi ini mendasari kekhawatiran saya mengenai sistem kuota yang diterapkan untuk konsumsi BBM bersubsidi. Saya termasuk yang sangat bersemangat saat pemerintah bermaksud membebaskan resiko fiskal pemerintah akibat perubahan harga minyak dunia, namun pada saat yang sama menginginkan bahwa kebijakan harga BBM harus menjadi satu paket dengan kebijakan angkutan umum. Apabila kenaikan harga BBM tidak disertai dengan alternatif angkutan umum yang kompetitif, maka seluruh resiko harga tersebut ditransfer dari pemerintah ke masyarakat. Akhirnya, kembali lagi masyarakat khususnya kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi dan ekonomi Indonesia akan menanggung akibat. Analisis perilaku konsumen dalam membeli sepeda motor juga menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM dibawah 30% threshold direspon masyarakat dengan kecenderungan kenaikan pembelian sepedamotor. Hal ini terjadi karena kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap angkutan umum, dan sistem operasi yang buruk dalam pelayanan angkutan umum yang ada di Indonesia.
Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi akan memberikan beberapa alternatif respon dari masyarakat. Pertama, masyarakat akan berhenti melakukan perjalanan dan kondisi ini akan memiskinkan mereka, karena menghilangkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan. Kedua, mereka akan melakukan vehicle sharing yang tentu saja akan memberikan dampak baik terhadap pengurangan konsumsi BBM bersubsidi, dan pemanfaatan ruang jalan, mengurangi kemacetan, dengan tetap mempertahankan mobilitas mereka. Ketiga, terjadi migrasi kendaraan berkapasitas mesin besar ke yang lebih kecil. Pilihan ini akan mengurangi konsumsi BBM, mempertahankan mobilitas, tidak mengurangi kemacetan, namun membutuhkan biaya publik sangat besar karena masyarakat memerlukan investasi pembelian kendaraan baru, sementara penjualan kendaraan lama tidak dapat dengan mudah dilakukan.
Analisis di muka mengkonfirmasi ulasan saya di berbagai media massa yang menunjukkan keterkaitan antara pertumbuhan mobilitas dan pertumbuhan ekonomi. Ini memang bukan soal mudah. Baik sistem kuota pembelian BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM bersubsidi, keduanya pilihan yang sulit bagi pemerintah. Keduanya harus dianalisis mendalam tentang dampaknya bagi kapasitas fiskal pemerintah dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Analisis pertama harus dilakukan oleh Kementerian Keuangan, bagian yang kedua adalah tugas Bappenas untuk menghitungnya. Tetapi yang pasti harus menjadi pertimbangan untuk kedua pilihan kebijakan tersebut adalah bahwa kebijakan harga BBM merupakan satu paket dengan kebijakan transportasi, khususnya angkutan umum. Tidak bisa dipisahkan. Mobilitas harus meningkat, dan kita harus memfasilitasinya dengan cara yang bijak.

Tulisan ini dimuat Blog Tempo Interaktif pada 1 Mei 2012.

Leave a comment

Filed under infrastruktur