Menyoal Kontroversi Biaya MRT Jakarta

Kontoversi biaya MRT Jakarta dalam beberapa minggu terakhir ini seolah mendominasi berita tentang Jakarta di berbagai media nasional. Baik media cetak maupun online mengutip hasil kajian MTI mengenai biaya MRT per kilometer yang dipandang lebih mahal dibandingkan dengan biaya MRT sejenis di Asia dan Amerika Latin. Persoalan menjadi muncul pada saat ada keraguan dari berbagai pihak mengenai kredibilitas data tersebut dengan pertanyaan mengenai perbedaan data dasar, nilai biaya, karakteristik wilayah dan kondisi geografis, panjang jaringan, serta persentase bagian trase yang dibawah tanah atau underground.
Bagi MTI, kekhawatiran terbesar diskusi masalah harga ini adalah bahwa justru pembahasan akan terjebak pada mencari konsensus harga satuan yang tepat untuk MRT Jakarta. Pembahasan seharusnya diarahkan pada esensi tatakelola implementasi yang justru penting untuk mensukseskan proyek ini dan melindunginya dari “moral hazard”.
Namun demikian, untuk menjawab keinginan banyak pihak, baiklah saya akan mencoba menjelaskannya secara sederhana sehingga bisa dipahami lebih kontekstual. Saya sendiri telah menulis opini mengenai isu tata kelola, komunikasi publik, dan upaya meningkatkan kemanfaatan MRT dalam artikel di Majalah Tempo.
Data dasar yang saya gunakan berdasar pada kajian akademik yang dilakukan oleh Flyvberg dkk yang dipublikasikan di tahun 2008 yang berjudul “Comparison of Capital Costs per Route-Kilometre in Urban Rail”. Dokumen tersebut bisa diunduh secara bebas melalui internet. Data dari berbagai kota dan Negara tersebut telah diubah dengan tahun dasar yang sama, yaitu 2002. Selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan standar biaya di Amerika Serikat untuk menghindarkan perbedaan harga, misalnya tenaga kerja. Pada dasarnya teknologi MRT adalah teknologi internasional, sehingga faktor yang menentukan perbedaan adalah biaya tenaga kerja, dan biaya bahan konstruksi pekerjaan sipil. Dengan menyusun perbandingan antara biaya per kilometer dan persentase bagian trase yang di bawah tanah (underground), maka kita memperoleh grafik hubungan antara biaya per kilometer dan persen bagian “underground”.
Berikutnya adalah bagaimana kita memperlakukan biaya MRT Jakarta. Dari jarak 15,2 km yang direncanakan, pagu pinjaman yang dimiliki Indonesia terlebih dahulu dikurangi dengan asumsi 20% untuk keperluan manajemen dan bantuan teknis yang mungkin diperlukan untuk perencanaan dan perancangan. Tentu saja kalau asumsinya data tersebut untuk nilai tahun 2012, maka akan ada pertanyaan mengenai ekskalasi dan inflasi. Bagi yang memahami ilmu ekonomi internasional, pertanyaan mengenai inflasi – dengan menggunakan asumsi inflasi Jepang, maka hal tersebut tidak perlu dijelaskan karena inflasi Jepang selama 10 tahun terakhir berkisar antara 0 hingga -1%. Namun untuk memuaskan rasa keingintahuan saya, maka saya menggunakan penyesuaian inflasi Jepang, inflasi US, dan kombinasi antara inflasi Indonesia dan Jepang. Penyesuaian yang terakhir saya gunakan untuk memperkirakan bahwa terdapat syarat pinjaman yang mengharuskan komponen Jepang sekurang-kurangnya sebesar 70% yang disesuaikan dengan inflasi Negara tersebut, sedangkan komponen lain sebesar 30% disesuaikan dengan inflasi Indonesia.

cost-comparison-mrt-31-10-2012

Tidak mengejutkan sebenarnya bahwa kita memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa semakin banyak komponen yang berada di bawah tanah, maka biaya akan semakin meningkat. Kedua, biaya MRT di Amerika Serikat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Negara-negara Asia dan Amerika Latin. Ketiga, “adjusted US cost” dari MRT di Asia dan Amerika Latin lebih besar dari biaya aktual dengan mata uang setempat. Keempat, terdapat kecenderungan yang cukup jelas bahwa perhitungan biaya MRT Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kecenderungan biaya MRT sejenis yang memiliki persentase bagian yang berada di bawah tanah.
MTI tidak pernah mengatakan bahwa perhitungan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada saat negosiasi pinjaman luar negeri keliru. Biaya MRT sesungguhnya akan muncul pada saat tender dengan mengasumsikan bahwa “market” atau pasar pembangunan MRT bersifat sempurna dan kompetitif. Tentu saja harapan pemerintah Indonesia sebagai peminjam, “market price” yang ditawarkan pemenang akan lebih rendah dari biaya perhitungan awal saat proses pinjaman dilakukan. Namun demikian, asumsi “perfect market mechanism” untuk kontrak MRT memang bisa di”challenge” mengingat tidak banyak kontraktor yang pernah menangani MRT, dan apabila dibatasi pada kontraktor Jepang yang bisa menawar, jumlah ini akan lebih kecil lagi.
Oleh karena itu, MTI mengusulkan adanya sebuah panel ahli MRT dari berbagai Negara non-Jepang untuk melakukan penilaian independen terhadap biaya ini. Mengapa non-Jepang? Hal ini untuk menjaga kredibilitas kerja panel ahli tersebut. Panel ini akan memberikan rekomendasi pada Pemerintah DKI Jakarta mengenai harga yang pantas bagi sebuah MRT di Jakarta. Panel ahli juga akan memberikan kenyamanan bagi PT MRT Jakarta untuk melakukan negosiasi harga dengan calon pemenang. Apabila Pemerintah Jepang tidak memperbolehkan pinjaman yang ada digunakan untuk membiayai tenaga ahli non-Jepang, maka Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa saja membiayai ini dengan APBN atau APBD. Mereka bisa diberi waktu tiga bulan untuk melakukan telaah mengenai harga MRT Jakarta dan berbagai pihak harus menghormati rekomendasi yang diberikan.
Kalau kita bisa memutar jarum jam ke masa lalu, seharusnya proses ini menjadi bagian penting dari diskursus publik mengenai MRT Jakarta. Pilihan-pilihan teknologi “elevated” atau “underground” yang dipersoalkan sebagian kelompok masyarakat akan terjawab dengan mudah. Kebijakan publik bagi proyek yang sedemikian besar harus disusun secara baik dengan mengedukasi masyarakat. Masyarakat perkotaan khususnya DKI Jakarta sangatlah terdidik dan haruslah menjadi bagian dari pengambilan keputusan untuk masa depan mereka.
Sistem MRT menurut pendapat saya memiliki kelebihan dibandingkan sistem bis dalam mengembangkan struktur kota Jakarta, dan perlu diselenggarakan dengan fondasi kebijakan yang kuat. Kebijakan yang kuat tentu dilandasi dengan argumen teknis yang kuat pula dan disertai proses komunikasi luas ke pemangku kepentingan. Diskusi mengenai MRT pasti tidak akan berhenti disini. Pasti ada data lain yang bisa dikemukan untuk men”challenge” data yang dikemukakan di atas. Saya kira sangat baik kita berdiskusi mengenai hal itu. Data harus digunakan sebagai media untuk mulai membahas mengenai kebijakan yang baik, bukan sebagai akhir dari sebuah diskusi.

Tulisan ini telah dimuat di Blog Tempo Interaktif pada 1 November 2012

Leave a comment

Filed under infrastruktur

Leave a comment